Kita bertemu di atas kereta dari Paris menuju Versailles.
Waktu itu pertengahan musim dingin. Salah satu musim dingin terburuk di Eropa selama sepuluh tahun terakhir. Aku, berdua dengan seorang teman, memutuskan pergi ke Versailles. Kami memilih berangkat dari Paris dengan kereta paling pagi. Itu adalah kali pertama kami menaiki RER, kereta komuter yang menghubungkan Paris dengan kawasan sub-urban. Seperti biasa, aku duduk di dekat jendela. Di luar, salju menutupi halaman dan atap rumah, mengubah pemandangan menjadi seperti lukisan di kartu-kartu natal.
Kau duduk di depan kami.
Aku tidak pernah tahu namamu. Yang aku ingat, rambutmu sewarna jagung, dan matamu biru, biru yang pucat, seperti warna langit musim semi kesukaanku. Kalau tidak salah, tinggimu sedang, dan kau suka tersenyum.
Pertemuan itu terjadi lima tahun yang lalu.
Kalau aku mengingatnya sekarang, aku menyadari ada perjalanan-perjalanan yang menyisakan penyesalan. Misalnya, aku tidak sempat mengejar Nicky Byrne di Dublin, aku tidak mengunjungi Edinburgh saat belajar di Inggris kemarin, termasuk aku tidak berkenalan denganmu sebagaimana seharusnya. Mungkin karena tinggal di Perancis selama tiga bulan dulu adalah pengalamanku yang bertama. Bahasa Inggrisku pas-pasan dan aku masih seorang pemalu.
Kalau aku mengingatnya sekarang, aku menyadari ada perjalanan-perjalanan yang menyisakan penyesalan. Misalnya, aku tidak sempat mengejar Nicky Byrne di Dublin, aku tidak mengunjungi Edinburgh saat belajar di Inggris kemarin, termasuk aku tidak berkenalan denganmu sebagaimana seharusnya. Mungkin karena tinggal di Perancis selama tiga bulan dulu adalah pengalamanku yang bertama. Bahasa Inggrisku pas-pasan dan aku masih seorang pemalu.
Tapi waktu itu, kau begitu baik.
Kami, dua orang asing, sering sekali merasa kebingungan di Perancis. Bahasa Perancis kami hanya sebatas berguna untuk berbelanja di Franprix atau membeli tiket metro. Seperti hari itu, kami ketakutan karena sepertinya perjalanan kereta sudah berlangsung lama tapi tidak juga sampai di Versailles. Temanku yang menyapamu lebih dulu, menanyakan stasiun dimana kami seharusnya turun. Pembicaraan itu berlanjut. Selama ini kebanyakan orang akan menggeleng kalau kami bertanya, "Parlez Anglais, Monsieur?" Tapi kau adalah salah satu dari sedikit pria Perancis yang mau bicara bahasa Inggris. Kau bilang, kau juga akan turun di stasiun itu. Kau mahasiswa Master di Paris, tapi orangtuamu tinggal di desa dekat Versailles. Hampir setiap akhir minggu kau mengunjungi mereka.
Ingatkah kau tentang pertemuan kita? Ingatkah kau padaku yang hanya bisa memandangmu malu-malu, mendengarkan aksenmu yang lucu? Ingatkah kau, ketika kau turun dari kereta, kau masih sempat menunjukkan arah kepada kami, sebelum kau sendiri lenyap di tikungan?
Hari itu di Versailles turun salju. Hari itu penyesalanku bertambah satu.
Kami, dua orang asing, sering sekali merasa kebingungan di Perancis. Bahasa Perancis kami hanya sebatas berguna untuk berbelanja di Franprix atau membeli tiket metro. Seperti hari itu, kami ketakutan karena sepertinya perjalanan kereta sudah berlangsung lama tapi tidak juga sampai di Versailles. Temanku yang menyapamu lebih dulu, menanyakan stasiun dimana kami seharusnya turun. Pembicaraan itu berlanjut. Selama ini kebanyakan orang akan menggeleng kalau kami bertanya, "Parlez Anglais, Monsieur?" Tapi kau adalah salah satu dari sedikit pria Perancis yang mau bicara bahasa Inggris. Kau bilang, kau juga akan turun di stasiun itu. Kau mahasiswa Master di Paris, tapi orangtuamu tinggal di desa dekat Versailles. Hampir setiap akhir minggu kau mengunjungi mereka.
Ingatkah kau tentang pertemuan kita? Ingatkah kau padaku yang hanya bisa memandangmu malu-malu, mendengarkan aksenmu yang lucu? Ingatkah kau, ketika kau turun dari kereta, kau masih sempat menunjukkan arah kepada kami, sebelum kau sendiri lenyap di tikungan?
Hari itu di Versailles turun salju. Hari itu penyesalanku bertambah satu.
No comments:
Post a Comment