Dublin adalah kota pertama dengan predikat UNESCO City of
Literature yang saya kunjungi. Hanya ada 6 (enam) kota lain di dunia yang menyandang predikat yang sama: Norwich, Edinburgh, Reykjavik, Kraków, Heidelberg,
Melbourne, Iowa City, dan Dunedin. Memang tidak banyak kota yang mengasosiasikan dirinya dengan sastra dan literasi. Tapi Dublin berbeda. Mungkin memang saya yang kurang
pengalaman, tapi saya belum pernah melihat kota yang memberikan apresiasi begitu tinggi pada para penulisnya.
Mereka yang mencintai sastra pasti akan suka berada di Dublin. Menjadi rumah banyak penulis kawakan, Dublin sangat layak memiliki Dublin Writers Museum. Lalu, seperti sahabat saya yang begitu mengagumi James Joyce,
begitu pula kota ini. Dublin dan Joyce seperti dua sisi mata uang. Dublin
adalah kecintaan Joyce dan Joyce adalah kebanggaan Dublin. Sayang, ketika saya berada disana, Dublin Writers Museum maupun James Joyce Centre sedang tutup karena libur natal. Tapi, saya sudah cukup bahagia karena saya sempat pergi ke James Joyce Tower and Museum yang
terletak di Sandycove, sebuah area suburban Dublin.
Dengan jarak satu jam perjalanan dari Dublin, tempat yang
sebenarnya bernama Martello Tower ini sangat mengesankan. James Joyce dulu
pernah tinggal di menara ini. Stephen Dedalus, salah satu tokoh fiksi dalam
Ulysses, juga diceritakan tinggal disana. Di lantai dasar menara, pengunjung
diajak menelusuri kehidupan Joyce lewat buku, manuskrip, barang-barang
peninggalan dan surat-suratnya. Di lantai kedua, the Round Room, kamar Joyce
direkonstruksi. The Round Room ini sempat membuat saya terhenyak. Untuk beberapa menit saya cuma bisa duduk memandangi tempat tidur, rak buku, peralatan makan dan bahkan peti milik Joyce. Sementara itu di atap menara,
bendera biru dengan tiga mahkota berkibar ditiup angin dari pantai.
Tempat ini membuat saya berpikir bagaimana
rasanya menjadi penulis dan tinggal di sebuah menara. Sepertinya keduanya
adalah kombinasi yang cocok. Saat hari sedang tidak berangin, Joyce mungkin
akan keluar dan menulis di tepi pantai. Atau kalau sedang bosan, dia akan ke
kota dan mengamati orang-orang. Lalu ketika dia sedang lelah, naik ke puncak
menara dan melihat laut di kejauhan sudah cukup menenangkan.
Di Dublin saya mengerti predikat UNESCO City of Literature bukan cuma tentang museum atau perpustakaan. Teman-teman saya di komunitas buku sering mendiskusikan betapa sedihnya ketika toko buku independen di berbagai negara mulai berkurang. Mereka tidak bisa bertahan di tengah gempuran jaringan toko buku besar dan buku elektronik. Padahal toko buku independen, yang biasanya menjual buku-buku bekas, seperti sebuah gua harta karun bagi mereka yang mencintai buku.
Tapi, toko buku independen di Dublin rupanya masih bertahan, apalagi kalau bukan karena dukungan penduduk kota yang memahami kotanya. Ketika saya memasuki toko-toko buku itu, satu demi satu, saya melihat orang-orang yang begitu mencintai literasi. Di kota ini, rak sastra bukanlah rak di pojokan yang sepi dan menyedihkan. Sastra mendapat kehormatan untuk ditempatkan di tempat yang mudah ditemukan. Beberapa orang saya lihat membawa setumpuk buku sambil mencari yang lain. Beberapa berbincang dengan pramuniaga, mencari buku yang stoknya tinggal hitungan jari. Di suatu sudut, saya menemukan seorang ibu dengan anaknya, yang mungkin baru berusia 7 tahun, berbicara tentang James Joyce. UNESCO memang tidak salah pilih, rupanya UNESCO City of Literature bukan cuma tentang infrastruktur, tapi juga attitude masyarakatnya.
Saya sempat melihat-lihat toko buku Hodges Figgis di Dawson Street. Meskipun independen, tampilan Hodges Figgis serupa dengan chain bookstore seperti Eason. Karena yang dijual buku baru, pengalaman mencari harta karun di rak buku bekas tidak bisa didapat. Tapi, dibuka tahun 1678, toko buku ini termasuk salah satu tempat yang disebut oleh James Joyce di bab pertama Ulysses.
Di Dublin saya mengerti predikat UNESCO City of Literature bukan cuma tentang museum atau perpustakaan. Teman-teman saya di komunitas buku sering mendiskusikan betapa sedihnya ketika toko buku independen di berbagai negara mulai berkurang. Mereka tidak bisa bertahan di tengah gempuran jaringan toko buku besar dan buku elektronik. Padahal toko buku independen, yang biasanya menjual buku-buku bekas, seperti sebuah gua harta karun bagi mereka yang mencintai buku.
Tapi, toko buku independen di Dublin rupanya masih bertahan, apalagi kalau bukan karena dukungan penduduk kota yang memahami kotanya. Ketika saya memasuki toko-toko buku itu, satu demi satu, saya melihat orang-orang yang begitu mencintai literasi. Di kota ini, rak sastra bukanlah rak di pojokan yang sepi dan menyedihkan. Sastra mendapat kehormatan untuk ditempatkan di tempat yang mudah ditemukan. Beberapa orang saya lihat membawa setumpuk buku sambil mencari yang lain. Beberapa berbincang dengan pramuniaga, mencari buku yang stoknya tinggal hitungan jari. Di suatu sudut, saya menemukan seorang ibu dengan anaknya, yang mungkin baru berusia 7 tahun, berbicara tentang James Joyce. UNESCO memang tidak salah pilih, rupanya UNESCO City of Literature bukan cuma tentang infrastruktur, tapi juga attitude masyarakatnya.
Saya sempat melihat-lihat toko buku Hodges Figgis di Dawson Street. Meskipun independen, tampilan Hodges Figgis serupa dengan chain bookstore seperti Eason. Karena yang dijual buku baru, pengalaman mencari harta karun di rak buku bekas tidak bisa didapat. Tapi, dibuka tahun 1678, toko buku ini termasuk salah satu tempat yang disebut oleh James Joyce di bab pertama Ulysses.
“She, she, she. What she? The virgin at Hodges Figgis window on Monday
looking in one of the alphabet books you were going to write.”
Sepertinya
toko buku yang jadi favorit saya justru toko buku kecil dekat Ha’Penny Bridge.
Namanya The Winding Stairs. Toko buku ini juga termasuk yang tertua di Dublin.
Saya suka atmosfir toko ini. Karena tidak terlalu besar, bagi saya rasanya
lebih privat. Dan toko ini juga menyediakan buku bekas yang cukup menarik
meskipun sebagian besar yang dijual tetap buku baru. Salah
satu favorit saya yang lain adalah Book Upstairs di depan Trinity College. Toko
buku ini hanya menjual buku baru, tapi pilihan-pilihanya luar biasa. Penggemar sastra
dan buku-buku serius lain akan suka berada disini. Atmosfir kuno juga sangat
kental, mulai dari penampilan toko sampai pasangan suami istri pemiliknya.
Kalau saja Dublin Writers Museum dan James Joyce Centre buka seperti biasa, maka kunjungan saya ke
Dublin akan sempurna. Tapi rupanya kota ini tidak ingin membuka semua sisi hidupnya sekaligus pada pertemuan pertama atau kedua. Mungkin saya memang harus datang lagi. Suatu hari
nanti ketika saya sudah membaca semua novel Joyce, atau setidaknya Dubliners dan Ulysses. Lalu saya bisa pergi ke kota ini lagi, mungkin suatu hari di bulan April, ketika musim semi baru datang dan sastra sedang dirayakan.
Catatan sebelum dan sesudah:
Bagaimana Saya Jatuh Cinta Pada Dublin - 1
Catatan sebelum dan sesudah:
Bagaimana Saya Jatuh Cinta Pada Dublin - 1