Dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam, akhir Februari lalu, aku
membayangkan betapa indahnya Belanda di musim semi nanti. Aku
membayangkan tulip warna-warni yang bermekaran, langit biru tanpa awan,
semilir angin sejuk dan pepohonan yang daunnya rimbun dan hijau. Aku
tahu, sampai disana aku tidak akan langsung mendapatkan pemandangan
musim semi itu. Setidaknya sampai awal Maret nanti, pasti masih ada
sisa-sisa musim dingin yang harus “kunikmati”.
Benar saja,
setibanya di bandara Schiphol, aku disambut dengan hujan dan angin yang
dinginnya menusuk. Kemudian dalam perjalanan dengan bis menuju Den
Haag, aku mencoba mencari tanda-tanda musim semi, tetap saja tidak
kutemukan. Baiklah, kuakui salju memang sudah tidak ada, tapi langit
masih kelabu, pepohonan masih tak berdaun dan ladang-ladang masih
kosong. Untuk mendapatkan musim semi aku memang masih harus menanti.
Menurut
teori, musim semi dijadwalkan datang mengunjungi bumi dari bulan Maret
sampai bulan Mei (tiba-tiba saja teringat gambar pergerakan matahari
yang menjadi penanda periode musim-musim yang dulu kupelajari di sekolah
dasar :p) Tapi, dengan melihat keadaan seperti ini, dalam benakku
tiba-tiba terlintas, “sepertinya musim dingin tak akan pernah berakhir
dan musim semi tak akan pernah datang” Hmm, konyol memang, musim dingin
pasti berlalu, musim pasti akan berganti, aku hanya perlu sedikit
bersabar. Musim semi itu sedang dalam perjalanan.
Musim semi itu sedang dalam perjalanan? Benarkah?
***
Minggu
pertama di Den Haag, hujan turun tiap hari dan angin musim dingin masih
berhembus. Sia-sia saja aku membawa payung karena angin akan merebutnya
dari tanganku, jika aku berkeras dia akan meremukkan payungku. Cuaca
buruk ini membuatku semakin tak sabar menanti musim semi. Tapi semakin
aku tak sabar menanti, aku semakin curiga musim semi akan terlambat
datang.
Hingga suatu pagi, waktu aku bangun dan melihat
keluar, aku sudah tidak lagi melihat langit kelabu. Seakan ada yang
mewarnai langit dengan cat biru muda di malam hari saat semua orang
sedang tertidur. Matahari bersinar dan entah bagaimana dunia seakan
lebih berwarna. Pagi itu, rombongan kami memutuskan untuk berangkat ke
institut dengan jalan kaki, tidak naik bis seperti biasanya.
Matahari
terus bersinar sepanjang hari itu, udara masih tetap dingin tapi cuaca
cukup nyaman untuk berjalan-jalan di luar. Kebetulan institut tempat
kami belajar dikelilingi hutan kecil dan beberapa taman.Baru hari itu
aku punya kesempatan memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Ternyata di pinggir sungai, bunga-bunga putih dan ungu sudah mulai
bermunculan. Batang-batang pohon berwarna kehijauan, sepertinya lumut
sudah mulai tumbuh karena udara sudah lebih lembab. Lalu pohon-pohon
memang masih kelihatan gundul, tapi ternyata apa yang selama ini kukira
hanya ranting-ranting kecil, ternyata adalah pucuk-pucuk tunas daun.
Aku
yakin selama ini bunga-bunga ungu dan putih itu sudah ada di tepi
sungai dan tunas-tunas daun itu sebenarnya juga sudah ada. Aku hanya
tidak melihatnya karena aku terlalu fokus pada langit yang kelabu dan
angin dingin. Dan bodoh sekali karena tunas-tunas daun itu justru kukira
ranting-ranting saja.
Musim semi ternyata memang sedang
dalam perjalanan. Selama ini aku hanya tidak melihatnya. Tapi melihatnya
atau tidak, musim semi tetap akan datang. Seharusnya, sejak awal aku
tidak meragukannya.
Jakarta, Maret 2011
#another old writings in my facebook notes. Oh how I miss early spring when the flowers starts to appear.