Hari ini jalanan macet, bus
way penuh, dan aku berdiri sepanjang perjalanan menuju ke kantor.
Alhasil, saya tiba di kantor setengah jam lebih lambat dibanding
biasanya dengan kaki lumayan pegal. Tapi aku merasa pagi ini indah.
Padahal cuma karena Madre.
Madre adalah buku baru Dewi Lestari, yang biasa memakai nama pena Dee. Buku-bukunya yang lain, Filosofi Kopi, Recto Verso dan Perahu Kertas sudah kubaca berulang kali.
Jadi di pagi yang rumit ini (seperti pagi-pagi lain di Jakarta), melewatkan kemacetan sambil berdiri di busway dan membaca Madre, entah kenapa aku merasa sangat bahagia.
Bahagia karena tiba-tiba membaca Madre jadi membangkitkan banyak kenangan dari belasan tahun lalu, tentang pagi yang sama sibuknya. Aku seperti mendengar suara ibu yang marah-marah karena aku tidak segera bersiap ke sekolah. Alih-alih mandi, aku justru tiduran lagi di sofa ruang tamu sambil membaca majalah Bobo edisi lama. Aku baru beranjak kalau ibu sudah mengeluarkan ancamannya: cubitan di paha yang sakitnya luar biasa. She really knows how to handle me :p
Tiba-tiba aku juga ingat sopir angkot berwajah lucu. Aku sudah jadi langganan angkotnya sejak sekolah dasar. Terakhir kali aku pulang ke rumah, aku bertemu dia lagi. Setelah tidak bertemu sekian lama, dia nampak tua. Gurat wajah cerianya masih sama, pun candanya, tapi kini dia tidak lagi punya beberapa gigi depan.
Melihatku duduk dan membaca di angkotnya, dia tertawa. Katanya, “Kamu tidak pernah berubah. Buku di tanganmu saja yang berubah. Waktu SD kamu baca Bobo, SMP baca Kawanku, lalu SMA kamu baca Gadis, waktu kuliah kadang kulihat kamu bawa Kompas, sekarang sudah kerja entah buku apa itu di tanganmu, kok bisa orang baca buku setebal itu. “
Aku tersenyum. Tapi ada rasa haru yang tiba-tiba mengaliri hatiku.
“Ternyata…,” ia melanjutkan ucapannya, “gadis kecil yang dulu suka membaca dan melamun di angkotku, sekarang sudah jadi orang hebat, bisa kerja di Jakarta. Dan aku masih saja tetap seorang sopir, hahaha…” Aneh ya, dia bukan siapa-siapa, bukan teman bukan saudara, tapi dia memperhatikan aku. And it really feels good to know that somebody care about you more than you ever think and know.
Tiba-tiba aku merasa hidup ku sungguh indah. Daripada mengkuatirkan masa depan yang sebenarnya penuh kemungkinan, tidak ada salahnya menggali kembali kenangan dan bersyukur karenanya. Kita bisa bahagia walaupun hanya dengan kenangan-kenangan sederhana.
Tapi bukankah untuk menjadi bahagia kita memang tidak butuh alasan besar?
Seperti kenangan tentang suatu pagi ketika baju-baju ternyata belum sempat kucuci. Yang tersisa di lemari hanya kemeja putih polos dan rok biru bermotif bunga-bunga pink dan putih kecil-kecil yang jarang kupakai. Tidak ada pilihan lain. Tapi di kantor seorang teman memberi pujian “c’est trés chic”. Dia tidak tahu kalau rok itu dibuat oleh penjahit langganan ibu waktu aku masih SMA. Ternyata ukuran tubuhku tidak banyak berubah. Bukankah itu juga alasan bagus untuk bahagia?
Belakangan aku memang banyak merenungi sebuah kehilangan. Mempertanyakan apakah yang sudah pergi masih mungkin kembali. Mencoba menjawab setiap kemungkinan dengan air mata dan desah nafas panjang. Kadang aku lupa untuk menjadi bahagia dengan apa yang sudah kupunya, salah satunya menjadi bahagia dengan kenangan.
Jadi hari ini aku menggali beberapa kenangan. Kenangan tentang Ibu yang berjaga di sampingku saat aku sakit, sambil sekali-kali tangannya meraba dahiku. Kenangan saat naik motor berdua dengan Bapak di pedesaan. Kenangan tentang tujuh tangkai mawar yang pertama kali kuterima dari seorang pria di hari ulangtahunku ke-17. Kenangan tentang menginap ramai-ramai di rumah teman dan sepanjang malam bertengkar tentang lagu apa yang harus diputar di Winamp. Kenangan tentang nonton konser gratisan di Goethe Hause bersama sahabat. Ternyata ada banyak kenangan menyenangkan.
Aku berhak bahagia.
Seperti himne yang biasa dinyanyikan di gerejaku,
“Bila topan g’lap melanda hidupmu,
bila putus asa dan letih lesu,
berkat Tuhan satu-satu hitunglah,
kau niscaya kagum oleh kasih-Nya”
Bila syairnya kuganti sedikit, mungkin jadinya begini:
“Bila jalan macet dan busway penuh,
nikmati saja dengan sebuah buku,
Ingatlah indah masa lalu,
Ternyata hidup tidak semua kelabu”
Jakarta, Juli 2011.
#sebuah catatan lama yang kutemukan di notes facebook, salah satu favoritku. Aku masih naik busway sampai hari ini, tapi dengan jarak yang lebih pendek dan tidak terlalu penuh. Masih sambil membaca buku pasti, dan beberapa kali melewatkan halte dimana aku seharusnya turun. There are things that never changed for sure.
Padahal cuma karena Madre.
Madre adalah buku baru Dewi Lestari, yang biasa memakai nama pena Dee. Buku-bukunya yang lain, Filosofi Kopi, Recto Verso dan Perahu Kertas sudah kubaca berulang kali.
Jadi di pagi yang rumit ini (seperti pagi-pagi lain di Jakarta), melewatkan kemacetan sambil berdiri di busway dan membaca Madre, entah kenapa aku merasa sangat bahagia.
Bahagia karena tiba-tiba membaca Madre jadi membangkitkan banyak kenangan dari belasan tahun lalu, tentang pagi yang sama sibuknya. Aku seperti mendengar suara ibu yang marah-marah karena aku tidak segera bersiap ke sekolah. Alih-alih mandi, aku justru tiduran lagi di sofa ruang tamu sambil membaca majalah Bobo edisi lama. Aku baru beranjak kalau ibu sudah mengeluarkan ancamannya: cubitan di paha yang sakitnya luar biasa. She really knows how to handle me :p
Tiba-tiba aku juga ingat sopir angkot berwajah lucu. Aku sudah jadi langganan angkotnya sejak sekolah dasar. Terakhir kali aku pulang ke rumah, aku bertemu dia lagi. Setelah tidak bertemu sekian lama, dia nampak tua. Gurat wajah cerianya masih sama, pun candanya, tapi kini dia tidak lagi punya beberapa gigi depan.
Melihatku duduk dan membaca di angkotnya, dia tertawa. Katanya, “Kamu tidak pernah berubah. Buku di tanganmu saja yang berubah. Waktu SD kamu baca Bobo, SMP baca Kawanku, lalu SMA kamu baca Gadis, waktu kuliah kadang kulihat kamu bawa Kompas, sekarang sudah kerja entah buku apa itu di tanganmu, kok bisa orang baca buku setebal itu. “
Aku tersenyum. Tapi ada rasa haru yang tiba-tiba mengaliri hatiku.
“Ternyata…,” ia melanjutkan ucapannya, “gadis kecil yang dulu suka membaca dan melamun di angkotku, sekarang sudah jadi orang hebat, bisa kerja di Jakarta. Dan aku masih saja tetap seorang sopir, hahaha…” Aneh ya, dia bukan siapa-siapa, bukan teman bukan saudara, tapi dia memperhatikan aku. And it really feels good to know that somebody care about you more than you ever think and know.
Tiba-tiba aku merasa hidup ku sungguh indah. Daripada mengkuatirkan masa depan yang sebenarnya penuh kemungkinan, tidak ada salahnya menggali kembali kenangan dan bersyukur karenanya. Kita bisa bahagia walaupun hanya dengan kenangan-kenangan sederhana.
Tapi bukankah untuk menjadi bahagia kita memang tidak butuh alasan besar?
Seperti kenangan tentang suatu pagi ketika baju-baju ternyata belum sempat kucuci. Yang tersisa di lemari hanya kemeja putih polos dan rok biru bermotif bunga-bunga pink dan putih kecil-kecil yang jarang kupakai. Tidak ada pilihan lain. Tapi di kantor seorang teman memberi pujian “c’est trés chic”. Dia tidak tahu kalau rok itu dibuat oleh penjahit langganan ibu waktu aku masih SMA. Ternyata ukuran tubuhku tidak banyak berubah. Bukankah itu juga alasan bagus untuk bahagia?
Belakangan aku memang banyak merenungi sebuah kehilangan. Mempertanyakan apakah yang sudah pergi masih mungkin kembali. Mencoba menjawab setiap kemungkinan dengan air mata dan desah nafas panjang. Kadang aku lupa untuk menjadi bahagia dengan apa yang sudah kupunya, salah satunya menjadi bahagia dengan kenangan.
Jadi hari ini aku menggali beberapa kenangan. Kenangan tentang Ibu yang berjaga di sampingku saat aku sakit, sambil sekali-kali tangannya meraba dahiku. Kenangan saat naik motor berdua dengan Bapak di pedesaan. Kenangan tentang tujuh tangkai mawar yang pertama kali kuterima dari seorang pria di hari ulangtahunku ke-17. Kenangan tentang menginap ramai-ramai di rumah teman dan sepanjang malam bertengkar tentang lagu apa yang harus diputar di Winamp. Kenangan tentang nonton konser gratisan di Goethe Hause bersama sahabat. Ternyata ada banyak kenangan menyenangkan.
Aku berhak bahagia.
Seperti himne yang biasa dinyanyikan di gerejaku,
“Bila topan g’lap melanda hidupmu,
bila putus asa dan letih lesu,
berkat Tuhan satu-satu hitunglah,
kau niscaya kagum oleh kasih-Nya”
Bila syairnya kuganti sedikit, mungkin jadinya begini:
“Bila jalan macet dan busway penuh,
nikmati saja dengan sebuah buku,
Ingatlah indah masa lalu,
Ternyata hidup tidak semua kelabu”
Jakarta, Juli 2011.
#sebuah catatan lama yang kutemukan di notes facebook, salah satu favoritku. Aku masih naik busway sampai hari ini, tapi dengan jarak yang lebih pendek dan tidak terlalu penuh. Masih sambil membaca buku pasti, dan beberapa kali melewatkan halte dimana aku seharusnya turun. There are things that never changed for sure.