6 Aug 2011

Bangku Kayu

Blog ini belum punya entri, dan aku tahu aku harus memulai. Jadi mari kita duduk di bangku kayu itu, lalu aku akan bercerita sesuatu...

Pertama, taman tempat aku biasa membuat catatan ini adalah sebuah park, bukan garden. Aku tidak benar-benar tahu apa bedanya, tapi kurasa feelnya berbeda. Park lebih seperti taman terbuka dimana semua orang bisa datang: mungkin berdua bergandengan, mungkin sendiri membawa buku di tangan. Sedangkan garden saya rasa lebih private, seperti halaman belakang sebuah rumah dengan pagar di sekelilingnya. Kau tak bisa sembarangan karena di sana sangat tertata.

Sudahlah tak usah dipikirkan. Yang jelas, di taman ini, kamu, aku atau siapapun boleh datang.


Di taman ini kau bisa berlarian. Tak usah takut merusak rerumputan, mereka lebih tegar dari yang kau kira. Kau juga boleh duduk di tepi kolam. Kadang di sana senja asyik berkaca. Atau kau juga bisa duduk disini, di bangku kayu ini, membuat catatan seperti aku. Catatan tentang apa saja, tentang siapa saja.

Ada hari dimana aku banyak menulis tentang langit biru saat matahari sedang berbaik hati. Lalu aku akan teringat ladang bunga matahari dan lavender di suatu negeri yang tak pernah kukunjungi. Catatanku sedikit lebih mirip sketsa kabur warna pelangi.

Disini, kadang aku teringat seseorang. Lalu kuambil daun dan rerumputan, kutempelkan pada kertas yang agak tebal. Kutulis sedikit kata dengan pena yang tintanya bercahaya, "Hai, apa kabar? Masihkah kau suka dengan bau rerumputan sehabis hujan? Sayang, aku tak bisa mengirimkan hujan."

Akhir-akhir ini aku ingin menulis tentang hujan. Hujan yang belakangan jarang datang meskipun jubahnya nampak di kejauhan. Angin terasa kering dan menggantung. Kutulisi semua halaman dengan lima huruf berulang-ulang: r,i,n,d, dan u.

Tapi tak hanya hujan yang kurindukan. Tahukah kau cafe di pinggir jalan sana? Entah kenapa sekarang menunya berubah. Tiba-tiba ada banyak minuman yang tak lebih dari sekedar kopi susu tapi dengan nama aneh. Pelayannya pun tak lagi elegan. Mereka tak lagi meninggalkan puisi agar kau tak bosan menanti. Kudengar pemiliknya, sastrawan terkenal itu, sudah menjualnya ke pengusaha yang tak mengerti indahnya kata-kata.

Banyak yang berubah. Kita juga. Pepohonan di sana juga kan berubah rapuh. Seperti kenangan: kian hari kian rapuh.

Ah, sudah senja, lampu-lampu mulai menyala. Lebih baik kau pulang...

Oya, jangan lupa, di balik bangku ini, ada rumpun dandelion. Mereka cantik, tapi begitu pasrah pada tiupan angin. Kepada mereka sering kutitip doa, siapa tahu mereka bertemu Tuhan di awan-awan. Suatu hari kau juga boleh mencoba. Jangan khawatir, doamu akan terjaga karena dandelion itu pintar menyimpan rahasia.

Nah, sekarang pulanglah. Sebentar lagi gelap. Tinggalkan saja aku disini. Memang sudah terlalu remang untuk menulis catatan, tapi aku masih ingin menikmati taman ini. Menikmati sunyi.

Melamun.

Bersembunyi.

2 comments:

  1. Aku suka berada di taman ini. Di sini terasa damai, lupa sudah semua penat yang menggelayuti persendianku. Aku suka berada di taman ini, hanya diam, menikmati sunyi, dan hanya hening yang berbicara...

    Blog-nya keren, Mbak Dipta.... Keep writing yah.. Salam kenal....

    ReplyDelete
  2. @mas bintang: silakan berlama-lama di taman ini, sunyi tidak pernah habis untuk direnungi...

    :)

    catatannya baru selembar, mas, belum bisa dibilang keren, but thanks anyway...

    oh iya, panggil dita saja, dan ngga usah pake mbak...

    kapan2 mampir lagi ya.

    ReplyDelete