Mungkin nanti aku akan sering menyenandungkan lagu itu. Lagu yang menjadi tema film yang kita lihat beberapa waktu lalu. Lagu tentang rindu. Rindu yang setia, yang tidak terkata. Lagu yang mengiring sebuah kisah tentang surat-surat dari Praha.
"Kau pernah ke Praha?" tanyamu waktu itu, sesaat sebelum film itu mulai.
Aku menggeleng. "Belum," jawabku singkat.
Kau tersenyum. Mungkin kau ingat dulu kita pernah berencana bertandang kesana. Konon, Praha adalah Paris di tahun 80-an. Aku membayangkan Praha adalah Paris dalam versi yang lebih hangat dan sederhana. Jika Paris adalah tempat untuk merayakan cinta, maka Praha adalah kota untuk merenungi rindu.
Seperti merenungi rindu Jaya pada Lastri.
Kau tersenyum. Mungkin kau ingat dulu kita pernah berencana bertandang kesana. Konon, Praha adalah Paris di tahun 80-an. Aku membayangkan Praha adalah Paris dalam versi yang lebih hangat dan sederhana. Jika Paris adalah tempat untuk merayakan cinta, maka Praha adalah kota untuk merenungi rindu.
Seperti merenungi rindu Jaya pada Lastri.
Aku ragu sekarang kau masih ingat pada Jaya dan Lastri, sepasang kekasih yang dihantam takdir. Takdir yang memaksa mereka berpisah, seakan kalah. Tapi apakah bisa dibilang kalah, jika bahkan sampai nafas terakhirnya Lastri tidak pernah berhenti mencintai Jaya. Dan Jaya, ah... Jaya, daripada berhenti mencintai Lastri, dia memilih tinggal dalam kesepian, ditemani ingatan dan kenangan, menyanyikan rindu.
Rindu Jaya dan Lastri adalah rindu yang setia, yang tidak terkata. Rindu yang membuatku membayangkan rindu milik kita. Apakah nanti rindu kita akan seperti rindu milik mereka?
Diantara waktu-waktu yang tersisa sekarang, aku mendoakan banyak semoga. Semoga dua setapak dimana kaki kita melangkah, sesungguhnya adalah setapak yang berdekatan, bahkan kadang bersimpangan. Semoga, setapak kita ada dalam dekapan musim yang sama, dalam irama waktu yang serupa. Setapak yang membawa kita mewujudkan Praha.
Karena ketika jarak ada, rindu itu niscaya.
Aku bisa membayangkan aku menulis surat untukmu, entah dari kota mana. Surat-surat yang mungkin tidak akan pernah kau baca. Surat-surat yang aku tulis memang tidak untuk dibaca. Surat-surat yang ditulis sekedar untuk menguatkan hati. Sampai nanti, di awal musim semi seperti ini, kita bertemu di Praha. Merayakan rindu yang setia, yang tidak terkata.
Lalu, di tepian sungai Vltava, ketika lampu-lampu di atas jembatan mulai menyala, aku akan mengingatkanmu pada rindu Jaya kepada Lastri. Rindu yang setia, yang tidak terkata.
Lalu, di tepian sungai Vltava, ketika lampu-lampu di atas jembatan mulai menyala, aku akan mengingatkanmu pada rindu Jaya kepada Lastri. Rindu yang setia, yang tidak terkata.
No comments:
Post a Comment