Hai, Petualang. Apa kabar? Semoga kamu sudah bisa sedikit menarik napas dari kesibukan.
Aku sedang di Bruges sekarang. Akhirnya ada sesuatu yang membuatku betah di Belgia, setelah Brussels yang kumuh dan Antwerp yang riuh. Seandainya aku tahu, mungkin aku akan melewati kedua kota itu dan langsung naik kereta dari Luxemburg ke Bruges.
Iya, iya, aku bisa membayangkan kamu mengatakan, "I told you..." sambil mengetuk kepalaku. Aku tidak sepertimu, yang selalu terencana dan mempersiapkan segala sesuatu dengan rapi. "Banyak-banyak riset sebelum berangkat," katamu waktu itu, dan aku hanya menggangguk tanpa pernah benar-benar mendengarkan. Pikirku, perjalanan ini cuma seminggu dan terus terang, Eropa jarang menawarkan kejutan yang seperti kembang api. Jadi aku hanya sekedar membuat rencana perjalanan, dari kota ke kota tanpa mencari tahu apakah tempat-tempat itu cukup layak mendapatkan waktu liburku yang berharga. Kau tahu, beberapa kota dalam daftar ini sudah pernah kukunjungi.
Kalau bukan karena temanku yang baru sekali ke Belgia aku tidak akan memasukkan Brussels dalam daftar. Aku masih tidak menemukan sesuatu yang menarik dari kota ini. Manekin Pis, patung si bocah pipis yang terkenal itu sangat kecil, tersembunyi di salah satu pojok pusat kota. Memang di pusat kota ada wafel dan moules - masakan kerang - yang lezat, tapi berada di sebuah kota dan hanya berkeliling di pusat kotanya rasanya menyedihkan. Masalahnya jika kita bergerak sedikit ke tepi, kita hanya akan menemukan pemukiman tak terawat dan lorong-lorong bau pesing.
Bruges benar-benar menebus semua itu.
Sekali lihat, kamu pasti akan tahu kota ini akan jadi favoritku. Rasanya seperti masuk ke mesin waktu. Aku tahu kamu pasti akan suka dengan jalanan batunya yang sempit dan aku akan jatuh cinta dengan bunga-bunga di jendela. Toko-toko kue dan cokelat mungkin bukan seleramu, tapi aku sangat rela berat badanku naik untuk mencoba potongan-potongan yang menggoda itu. Kalau kamu disini, kamu pasti harus memaksaku meninggalkan etalase toko yang menjual pernak pernik rumah berhias renda Belgia. Andai saja aku punya cukup uang untuk membawa pulang semua itu.
Petualang, kau pasti tidak akan terkejut kalau aku suka kota ini karena kota ini romantis. Tidak, ini bukan tentang fakta bahwa di kota ini banyak terdapat kissing spots atau patung kodok mungil yang bila dicium oleh 1000 turis akan berubah menjadi pangeran atau putri yang akan membawakan ranselmu. Tidak, itu romantisme yang aneh. Aku suka kota ini karena dia romantis dengan caranya yang bersahaja. Tidak perlu banyak aturan, letakkan saja sepeda di depan jendela dan dia akan terlihat romantis dengan sendirinya.
Ok, ok, aku tahu kamu bukan penggemar romantisme. Aku akan berhenti sampai disini atau, seperti yang kamu sering bilang, kita akan terkapar karena diabetes. Tapi aku sungguh tidak menemukan kata lain untuk menggambarkan kota ini. Misalnya saja, berjalan dari stasiun sampai ke pusat kota, kamu akan melewati jalanan kecil dengan sungai dan pepohonan di tepinya. Jalanan itu akan membawamu ke sebuah biara tua, tidak banyak yang bisa dilakukan disana selain menikmati kesunyian. Sungguh, berjalan di kota ini, melihat angsa-angsa di kanal dekat biara, aku tidak bisa tidak mengingatmu. Kamu pasti akan suka tempat ini, seperti kamu jatuh cinta pada taman di kota kita, tempat burung-burung berkumpul dan kamu bisa memberi mereka makan. Aku membayangkan kita duduk di tepi kanal, bicara tentang apa saja: masa kecil, lagu kesukaan, impian dan banyak rencana perjalanan.
Aku beruntung datang ke Bruges saat musim dingin, setidaknya kota kecil ini tidak terlalu ramai. Kau tahu, rasanya aku lebih bersahabat dengan sunyi. Di kota ini kamu selalu bisa menemukan tempat untuk sendiri. Seperti saat berada di ketinggian dekat gerbang kota, melihat senja yang jatuh di atap-atap bangunan dan mengubahnya menjadi bayangan.
Senja di kota ini, salah satu senja terindah yang pernah kulihat. Memandang senja itu, aku teringat suatu sore saat kita berdebat tentang mana yang lebih menakjubkan: fajar atau senja. Katamu, fajar bercerita tentang harapan yang tidak dibawa oleh senja, dan aku berkeras bahwa senjalah yang mengawetkan fajar dalam kenangan. Aku tahu, waktu itu kita hanya cukup sombong untuk mengakui bahwa fajar dan senja, begitu juga dengan kenangan dan harapan, adalah sahabat yang lebih senang berjalan bersama. Seperti kita yang saat ini menempuh perjalanan sendirian, membawa kenangan tentang satu sama lain dan harapan tentang senja dan fajar yang nanti dilewatkan bersama.
Bicara tentang kenangan, kota ini sepertinya tidak ingin beranjak darinya. Dalam peta yang kudapat cuma-cuma di biro wisata, aku membaca bagaimana mereka tidak membuka pintu pada restoran-restoran cepat saji. Tentu saja, untuk apa membeli kentang di restoran itu kalau disini kita bisa menemukan kedai yang menjual frites - kentang goreng - khas Belgia dengan saus mayonaise hampir disetiap lorong. Kata mereka, Starbucks di Bruges terlihat menyedihkan dibandingkan dengan kedai kopi milik perorangan yang banyak tersebar di kota. Mungkin Bruges memang mengajak kita memaknai apa itu kenangan, seperti menaiki perahu yang pelan-pelan menyusuri kanal. Banyak orang merasa hidupnya berlalu kelewat cepat, tapi mungkin saja mereka memang tidak pernah tahu caranya berhenti atau berjalan pelan.
Senja di kota ini, salah satu senja terindah yang pernah kulihat. Memandang senja itu, aku teringat suatu sore saat kita berdebat tentang mana yang lebih menakjubkan: fajar atau senja. Katamu, fajar bercerita tentang harapan yang tidak dibawa oleh senja, dan aku berkeras bahwa senjalah yang mengawetkan fajar dalam kenangan. Aku tahu, waktu itu kita hanya cukup sombong untuk mengakui bahwa fajar dan senja, begitu juga dengan kenangan dan harapan, adalah sahabat yang lebih senang berjalan bersama. Seperti kita yang saat ini menempuh perjalanan sendirian, membawa kenangan tentang satu sama lain dan harapan tentang senja dan fajar yang nanti dilewatkan bersama.
Bicara tentang kenangan, kota ini sepertinya tidak ingin beranjak darinya. Dalam peta yang kudapat cuma-cuma di biro wisata, aku membaca bagaimana mereka tidak membuka pintu pada restoran-restoran cepat saji. Tentu saja, untuk apa membeli kentang di restoran itu kalau disini kita bisa menemukan kedai yang menjual frites - kentang goreng - khas Belgia dengan saus mayonaise hampir disetiap lorong. Kata mereka, Starbucks di Bruges terlihat menyedihkan dibandingkan dengan kedai kopi milik perorangan yang banyak tersebar di kota. Mungkin Bruges memang mengajak kita memaknai apa itu kenangan, seperti menaiki perahu yang pelan-pelan menyusuri kanal. Banyak orang merasa hidupnya berlalu kelewat cepat, tapi mungkin saja mereka memang tidak pernah tahu caranya berhenti atau berjalan pelan.
Berjalan pelan di Bruges membuatku bisa kembali menulis puisi. Kamu memang bukan orang terbaik yang bisa kuajak bicara tentang kata-kata, tapi seperti yang selalu kau katakan, denganmu aku boleh bicara apa saja.
di bruges,
masa lalu seperti berdesakan
hilir mudik dari vlamingstraat
menuju wollestraat
di bruges
orang-orang masih bisa tertawa
di tepian kanal di bawah pepohonan
walau matahari melambaikan tangan
dan angsa-angsa bergegas pulang
masih ada segelas duvel di tangan
dan sepeda menunggu di tepi jalan
di bruges
waktu sekedar bisikan
Salam dari Bruges,
Aku.