Sepanjang perjalanan menuju Sheffield, ada satu pertanyaan yang muncul di benak saya, “Where do dreams come from?"
Mungkin kalau Andrea Hirata, mimpi itu muncul dari sebuah buku pemberian cinta pertamanya, If Only They Could Talk karya James Herriot. Dari buku itu, ia pertama kali melihat Edensor, meskipun masih dalam bentuk imajinasi. Lalu beranjak dewasa, mimpi itu menemukan pegangannya dari nasihat Pak Balia, "Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah Afrika, temukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia. Tuntut ilmu sampai ke Sorbonne di Perancis, saksikan karya-karya besar Antoni Gaudi di Spanyol."
Mimpi kecil Andrea lalu menjelma amuba, membelah diri menjadi mimpi-mimpi yang semakin lama semakin nampak mustahil.
Tapi mimpi memang hanya diperuntukkan bagi para pemberani.
Tapi mimpi memang hanya diperuntukkan bagi para pemberani.
Lamunan saya tiba-tiba teralihkan dengan puisi karya Andrew Motion yang ditulis di salah satu gedung Universitas Sheffield Hallam, berjudul What If. Puisi ini benar-benar ditulis di salah satu dinding gedung itu, begitu besar hingga mereka yang melintas di jalan raya bisa dengan jelas membacanya.
O travellers from somewhere else to here
Rising from Sheffield Station and Sheaf Square
To wander through the labyrinths of air,
Pause now, and let the sight of this sheer cliff
Become a priming-place which lifts you off
To speculate
What if..?
What if..?
What if..?
Cloud shadows drag their hands across the white;
Rain prints the sudden darkness of its weight;
Sun falls and leaves the bleaching evidence of light.
Your thoughts are like this too: as fixed as words
Set down to decorate a blank facade
And yet, as words are too, all soon transferred
To greet and understand what lies ahead -
The city where your dreamling is re-paid,
The lives which wait unseen as yet, unread.
Mungkin dari situlah mimpi datang, dari sebuah pertanyaan, “What if?”
“What if everything that seems impossible is actually possible?”
“What if what I have in my imagination is, in fact, awesome?”
“What if someday I will find a chance to make it come true?
“What if Edensor is actually not that far?”
What if I let go my dreams now and I regret it someday?
Dan mereka yang cukup berani untuk bermimpi, jelas-jelas tidak bisa hidup dengan “mungkin” dan “bagaimana jika”. Mereka mencari setapak menuju tempat yang dibilang oleh Andrew Motion - “where your dreamling is re-paid.”
Tempat dimana mimpi-mimpi kita dibayar lunas. Seperti Edensor untuk Andrea Hirata… dan saya.
***
Edensor, di penghujung bulan November, kabut turun dan tanah masih basah karena sisa-sisa hujan. Musim dingin sudah mulai menyapa, tapi musim gugur belum sepenuhnya pergi. Perjalanan dua jam dengan bis menuju Sheffield, dilanjutkan satu jam menuju Edensor, seakan bukan apa-apa. Padahal jalanan di depan kami hampir tidak terlihat karena kabut. Berjalan dari arah Chatsworth House kami, saya dan teman saya, bisa melihat menara St. Peter Church di kejauhan. Entah perasaan apa yang ada di hati kami. Mungkin perasaan yang hanya bisa dideskripsikan dengan kata, “Akhirnya!”
Saya yakin mereka yang tumbuh dengan kisah-kisah Andrea Hirata akan menyimpan mimpi yang sama: menjelajah dunia. Tidak terhitung pula mereka yang berhasil mewujudkan mimpi itu. Dan di tengah perjalanan penjelajahan itu, Edensor seperti tempat peristirahatan. Tempat kita bisa duduk-duduk di Edensor Tea Room, atau selonjoran di padang rumput di luar desa menikmati pemandangan pemohonan dan mengamati kawanan domba atau rusa.
Karena pada akhirnya perjalanan ke Edensor bukan cuma mengikuti jejak Andrea Hirata. Tapi, bagi saya, dan orang-orang lain yang pergi kesana, mengunjungi Edensor adalah merayakan keberanian. Merayakan saat-saat mimpi-mimpi kami terbayar lunas. Merayakan sang Hidup yang membawa kami sampai ke sana.
Merayakan saatnya membuat mimpi-mimpi baru.
Dan bucket list no. 9 saya pun sudah terpenuhi, walaupun tanpa bagian menulis surat untuk Andrea Hirata.