Berada di
Kupang untuk urusan pekerjaan, tidak memberi banyak kesempatan untuk
mengeksplorasi kota ini. Tapi, bahkan sebelum saya sampai kesana, Kupang sudah
seperti sesuatu yang akrab. Lalu ketika saya membuat langkah pertama di bandara
El Tari, ingatan saya justru melayang ke Melbourne, Australia. Membayangkan
sahabat saya, Wawan, sedang tidur siang di Victoria Park, bersantai di antara
tuntutan pendidikan pasca sarjana.
Wawan
adalah anak Kupang asli. Nama lengkapnya Wanry Wabang. Dulu, salah satu widya iswara
di kelas diklat kami dengan semena-mena memanggilnya Yoseph. Entah kenapa.
Lalu, entah dari mana, tiba-tiba muncul pula label Muhammad yang dilekatkan
pada namanya. Sejak masa diklat itu, secara informal, namanya berubah menjadi
Muhammad Yoseph Wanry Wabang. Seakan belum cukup aniaya pada namanya, kami memanggilnya Wawan.
Mereka yang hanya mendengar panggilannya, akan mengira dia orang Jawa.
Nyatanya, Wawan memiliki perawakan khas pria Indonesia Timur: kulit gelap,
rambut keriting, mata yang dalam dan suara yang merdu.
Bertiga dengan Inesz, saya dan Wawan adalah rekan senasib dan seperjuangan di tengah tuntutan pekerjaan yang kadang kami anggap tidak masuk akal. Ketika Wawan melanjutkan kuliah ke Melbourne, saya dan Inesz kerap makan siang hanya berdua sambil membicarakannya. Dulu, kami bertiga pernah merencanakan liburan ke Kupang. Tapi, dengan kesibukan dan harga tiket yang lumayan, semuanya masih jadi agenda.
Bertiga dengan Inesz, saya dan Wawan adalah rekan senasib dan seperjuangan di tengah tuntutan pekerjaan yang kadang kami anggap tidak masuk akal. Ketika Wawan melanjutkan kuliah ke Melbourne, saya dan Inesz kerap makan siang hanya berdua sambil membicarakannya. Dulu, kami bertiga pernah merencanakan liburan ke Kupang. Tapi, dengan kesibukan dan harga tiket yang lumayan, semuanya masih jadi agenda.
Mungkin persahabatan dengan Wawan lah yang membuat saya merasa dekat dengan Kupang.
Pesawat
yang kami tumpangi mendarat di bandara El Tari tepat setelah hujan berhenti. Udara cukup sejuk dengan mendung
yang masih menggantung. Saya beruntung karena hujan membuat suhu udara menjadi
bersahabat. Dalam perjalanan menuju ke hotel, sekali lagi saya merasa beruntung
karena mengunjungi Kupang di bulan Desember.
Saya suka
pohon. Buat saya pepohonan adalah salah satu prasyarat agar sebuah tempat layak
disebut menyenangkan. Menurut Inesz dan Wawan, kalau saya masuk ke dunia
dongeng, maka saya akan menjadi peri pohon. Dan di bulan Desember, di Kupang, saya
menemukan pohon yang mungkin nanti kalau saya punya rumah dengan pekarangan
yang luas, saya akan menanamnya di halaman. Supir kami menerangkan kalau pohon
itu bernama Sepe, tapi bagi saya pohon
itu bernama Desember.
Sewajarnya kota yang berada di tepi pantai, Kupang menawarkan pemandangan yang memanjakan mata. Bahkan dari kamar hotel saya, pemandangan pantai juga terlihat di jendela. Tiba-tiba
saya ingin tertawa karena teringat Wawan yang tidak bisa berenang. Mungkin masa
kecilnya dihabiskan dengan menyanyi di tepi pantai.
Kami sempat
mengunjungi Pantai Lasiana. Disana kami bertemu sepasang suami istri yang
sedang berjongkok mengamati sebuah baskom berisi air laut. Si istri nampak
sibuk mengambil air dari baskom dengan mangkuk kecil, lalu memindahkannya ke
ember di sebelahnya. Sementara itu tidak lama kemudian, si suami kembali ke laut,
berjalan hingga kedalaman tertentu, sambil membawa alat entah apa namanya,
terbuat dari dua bilah bambu dengan jala dan kain-kain.
Ternyata
mereka sedang mencari bibit ikan bandeng. Dengan alatnya, si suami akan
menampung air laut pada sebuah tabung dari kain dan menuangnya ke dalam baskom
si istri. Setelah itu, dengan ketelitian dan mata yang awas, si istri akan
mencari bibit ikan bandeng dari air yang diberikan sang suami. Dia menunjukkan
kepada kami bibit ikan bandeng itu, warnanya hampir transparan seperti warna
air laut. Lembut dan kecil. Saya tidak menyangka bandeng yang biasa saya makan
itu berasal dari sesuatu yang rapuh seperti ini.
Dia bilang
bibit-bibit ikan bandeng itu akan ia jual.
Ketika si
suami kembali sambil membawa pasokan air laut yang baru, saya baru sadar kalau
kulitnya kehitaman, sedangkan si istri pipinya kemerahan.
Kontan saya teringat dengan petani-petani sayuran di lereng Gunung Merbabu
dekat kota saya. Sepertinya mereka yang hidup menggantungkan diri dari alam akan
selalu punya tanda yang sama. Jejak matahari pada kulit para lelaki dan jejak angin
pada pipi para wanita.
Pantai
Lasian, dan pantai-pantai lain di Kupang adalah pantai sederhana dengan orang-orang
yang juga sederhana. Sesederhana persahabatan para nelayan dengan alam, musim dan
cuaca. Menerima apa adanya. Memang ada beberapa penjual kelapa muda, tapi kedai-kedai itu tidak
serta merta membuat pantai di Kupang menjadi turistik. Buat saya itu nilai
tambah. Untuk seorang penyendiri seperti saya, kesunyian pantai di Kupang
justru melegakan.
Seorang
teman saya yang juga pernah berkunjung ke Kupang menganggap Kupang gersang.
Tapi di mata saya, hampatan tanah kosoh dengan batu-batu karang itu menjelaskan
lebih. Dari tempat gersang itu, seorang fotografer yang handal bisa
menghasilkan foto tentang kekuatan untuk bertahan. Dari tempat gersang itu,
seorang penulis dengan imajinasi tak terbatas bisa bercerita bagaimana bumi ini
sudah begitu tua. Mungkin dulu laut lebarnya hingga ke tempat yang sekarang
adalah daratan.
Kami
berkeliling kota Kupang dengan mobil. Melewati kompleks gua monyet yang adalah
perpaduan gua-gua karang, rimbun pepohonan dan puluhan monyet yang tinggal di
dalamnya. Dari bagian atas kota Kupang, lampu-lampu kapal terlihat di kejauhan.
Namun jalanan gelap, tidak semua jalan di kota ini punya penerangan. Kami
melewati kedai-kedai ikan yang juga menyediakan tempat pembakaran.
Di salah
satu kedai ikan bakar, kami bertemu dua turis Italia yang menempuh perjalanan
dari kota kecil dekat Verona menuju Sidney, tanpa pesawat terbang. Setelah melewati
banyak negara lewat darat dan laut, mereka baru menggunakan pesawat dari
Denpasar menuju Kupang. Kata mereka, keesokan harinya mereka akan menuju Pulau
Rote dan mengakhiri petualangannya di Sidney.
Salah satu
dari mereka adalah fotografer perjalanan dengan spesialisasi foto manusia,
bukan pemandangan. Mendengar ceritanya aku menarik pelajaran. Mungkin itu yang menarik di tempat seperti Kupang dan bahkan
seharusnya di semua tempat lain. Manusianya. Penduduknya. Bukan cuma alam,
pemandangan dan makanan. Seharusnya sebuah perjalanan tidak membuat kita lupa
mengenal masyarakatnya. Masyarakat yang menghasilkan apa yang kita sebut budaya
dan semua produknya. Pengenalan yang niscaya membuat kita lebih kaya dan
bijaksana.
#Masih enam bulan sebelum Wawan pulang ke Indonesia...