Seharusnya
aku menulis catatan ini sejak berminggu-minggu yang lalu. Tapi rupanya beberapa
perjalanan setelah itu lebih menyita waktu. Dan ketika aku memulai catatan ini, aku
sedang di pesawat, pada sebuah perjalanan yang lain. Seperti biasa, aku duduk
di dekat jendela. Matahari bersinar terang di luar. Kami sedang melewati sebuah
pulau. Entah pulau apa.
Perjalanan
yang ingin kubagikan adalah tentang Kuala Lumpur. Tapi sebelumnya, please
understand that I came to this city for business. Jadi, tolong maafkan karena aku
tidak bisa memberikan review yang turistik, seperti perburuan tiket, budget
hotel, agenda perjalanan dan hal-hal seperti itu. Cerita perjalanan ini hanya
sedikit pengamatan tentang apa yang kutemui disana, dan peristiwa apa yang
kemudian menyusun sebuah bab baru pada kisah-kisah perjalananku.
Anyway, aku tidak terlalu excited dengan
perjalanan yang satu ini. Entahlah, mungkin sentimen pribadi dengan Malaysia
cukup mempengaruhi. Lagipula selama ini aku berpikir Kuala Lumpur tidak
memiliki sesuatu yang menarik. Bagiku Menara Kembar itu pun bukan sesuatu yang
fenomenal. Well, sepertinya Kuala Lumpur harus menghadapi sikap apatis ku dan membuktikan dirinya.
Jujur saja, aku memang tidak mengharapkan melewatkan satu minggu dengan
menyenangkan. Mungkin karena aku cuma ingin pulang dengan kebanggaan.
Kebanggaan bahwa meskipun serumpun, pada akhirnya aku bisa mengatakan bahwa
negaraku masih lebih baik.
Kenyataannya
ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport, entah kenapa aku justru
teringat kepada Bandara Charles de Gaulle. Oh,
this shouldn’t happen. Setelah itu sepanjang perjalanan menuju ke kota,
pepohonan hijau berderet rapi seperti sebuah gerbang yang panjang. Ah, dulu di
perjalanan masuk kota Paris, pepohonan juga berderet seperti ini, hanya saja
warnanya kuning dan kecokelatan. Gosh! This city shouldn’t make me remember
Paris… Yes, it shouldn’t, but it did.
Aku
melewatkan 5 hari di Kuala Lumpur untu sebuah rangkaian pertemuan. Tapi, dengan
semua rangkaian pertemuan itu, mustahil untuk benar-benar bisa mengeksplorasi
kota. Pada akhirnya, aku menambahkan 2 hari, sehingga aku bisa melewatkan
weekend tanpa pekerjaan disana. By the
way, tentang pertemuan itu, itu hanya sebuah pertemuan regional, bagian
dari upaya untuk mewujudkan a peaceful
and prosper community, to care and to share each other. And then, please,
jangan mengajukan pertanyaan lebih jauh. Believe
me, your life will be more comfortable if you don’t even know about all that
meeting.
Aku
seharusnya menginap di hotel tempat meeting itu diadakan. Sebuah hotel bintang
empat dengan pegawai yang siap memberi bantuan ekstra, sesuai dengan digit
ringgit yang kita bayar.Tapi karena aku sudah lama ingin bisa merasakan sensasi
backpacking lagi, kuputuskan untuk
sedikit memodifikasi perjalanan kali ini. Untungnya, kali ini aku pergi sendiri,
tanpa atasan. Jadi, dengan sengaja, aku memilih untuk menginap di sebuah hotel
bintang dua. Agoda cukup membantu untuk mendapatkan harga yang sangat murah.
Untungnya,
pertemuan berjalan lancar walaupun ada saat-saat ketika beberapa pihak nampak
begitu keras kepala. Ah, tapi sudahlah, itu hanya menambahkan cita rasa seni
pada sebuah negosiasi. Dari panitia, kami mendapatkan beberapa buku mengenai
pariwisata kota ini. Well, for the sake
of my personal sentiment, I hated to see
that this city was quite interesting. Lupakan soal mall dan pusat belanja
itu, mereka sama di setiap kota. Aku justru takjub melihat di kota ini ada
taman botani. Mereka punya taman anggrek, taman burung, taman kupu-kupu, dan
bahkan taman kunang-kunang. Taman-taman itu menarik perhatianku, tapi sejak
awal aku sudah memutuskan untuk tidak kesana. Tempat seperti itu, dengan tiket
masuk khusus orang asing yang harganya 2-3 kali lipat harga tiket untuk
pengunjung domestik, harus mendapatkan waktu yang cukup lama. Sekedar numpang
lewat tidak akan menghasilkan kesan yang layak, sementara untuk kunjungan
pertama aku ingin berkeliling dan mendapatkan nuansa kota ini.
Pagi
pertama, langit cerah. Seperti kata supir yang menjemputku di bandara, hujan
belum juga turun di Kuala Lumpur. Dari hotel yang aku tempati menuju tempat
pertemuan, aku hanya perlu berjalan kaki sekitar 15 menit. Perjalanan berjalan
kaki ini yang akhirnya mendominasi kesanku tentang Kuala Lumpur. Disini, para
pejalan kaki, mendapat tempat yang layak. Tidak cuma itu, para pria-pria India
atau Melayu yang duduk-duduk di pinggir ternyata bukanlah pria-pria usil. Tidak
ada siulan-siulan atau panggilan-panggilan yang kadang ingin membuatku ingin
melempar sesuatu untuk mengajari pria-pria seperti itu agar lebih sopan. Selanjutnya
aku menemukan sikap ini hampir di seluruh daerah perdagangan yang aku kunjungi,
walaupun tempat itu nampak kumuh dan tak beraturan. Aku dengan senang hati
memasukkan hal ini sebagai poin plus dari Kuala Lumpur.
Di kota
ini, aku tidak melihat jalanan berubah menjadi tempat parkir raksasa di pagi hari
yang sibuk. Serupa dengan sistem transportasi yang aku temui di Eropa. Bis
berjalan hilir mudik sebagaimana seharusnya: berhenti di halte dimana para
penumpang juga sudah menunggu disana. Mereka punya MRT sebagai jalur kereta
bawah tanah, dan mereka juga punya LRT,
kereta dengan jalur atas. Menuju ke tempat pertemuan, aku melewati sebuah
bagian jalan yang sedang digali. Rupanya mereka sedang membuat jalur MRT baru.
Oooh, ibu kota kita baru membangun tiang-tiang dan mereka sudah membuat jalur
baru. Aku benci menemukan fakta ini, tapi dalam hal transportasi mereka jauh
lebih baik.
Hanya saja,
taxi di Kuala Lumpur sangat menyusahkan. Mayoritas mereka tidak pakai argo dan
harga nya dinaikkan 3 sampai 4 kali lipat tarif normal. Di hari pertama, aku
yang sedang diburu waktu agar bisa segera sampai ke kedutaan, harus menjadi
korban taksi seperti itu. Hari berikutnya, pihak hotel memanggilkan taxi yang
menggunakan argo, mereknya Limo Cab. Supirnya, seorang pria Chinese paruh baya,
menjelaskan bahwa taxi itu adalah yang terbaik di Kuala Lumpur, sama seperti
Blue Bird di Jakarta. Staf di kedutaan menyarankan agar aku sebaiknya
memilih taxi dengan supir Chinese atau Melayu, hindari orang India. Dia sendiri
mengakui kalau itu mungkin hanya perkara stereotype
pada orang India, tapi demi keamanan, tidak ada salahnya.
Aku
mengamati kalau orang India memang seperti warga kelas tiga di negara ini.
Entah kenapa. Mereka kebanyakan menjadi pekerja bangunan, supir taksi, pedagang
souvernir, atau pelayan restoran. Memang ada yang hidupnya lebih baik, menjadi
pejabat misalnya, tapi itupun jumlahnya tidak banyak. Mungkin label warga kelas
tiga itu pula yang menciptakan stereotype untuk mereka. Aku tidak melihat
pembuktian dari stereotype ini, selain dari supir taksi yang menipuku di hari
pertama. Ah, tapi itu pun hanya karena dia melakukan business as usual, yang
sayangnya belum ku ketahui waktu itu.
Orang India
lainnya, mereka baik dan ramah. Beberapa nampak macho dengan kulit gelap dan
matanya yang dalam. Pada akhirnya rombongan kami menjadi dekat dengan
orang-orang India yang bekerja di kedai makanan di depan hotel tempat
pertemuan. Awalnya, setiap kami sudah selesai makan, mereka akan langsung
memberikan bill sebagai tanda agar kami cepat pergi dari sana. Kami tertawa
saja meskipun kami merasa diusir. Para wanita akan kembali ke kamar, tapi para
pria akan tetap di kedai itu dan mengobrol dengan para supir panitia. Mungkin
hanya kami lah peserta meeting yang melewatkan malam dengan supir-supir itu. Oh, let’s give applause to that humble
Indonesian men^^ Lama-lama, pria India pelayan restoran membiarkan kami
melewatkan berjam-jam di kedainya, mengobrol dari ujung ke ujung. Dia bahkan
mulai menanyakan asal kami dan apakah kami akan datang lagi di malam berikutnya.
Di malam terakhir kami mengunjungi kedai itu, dia menawarkan layanan delivery
service ke hotel kami sebelum besok kami pulang. He was a nice Indian man of Kuala Lumpur.
Pria India
kedua yang berinteraksi cukup lama dengan aku adalah supir travel turis di
depan hotel. Waktu itu aku sedang menunggu jemputan dan dia sepertinya sedang
mencari tahu apakah besok ada pelanggan yang harus ia antar. Kami
bercakap-cakap namun dia lebih banyak bercerita. Katanya dia pernah ke
Indonesia. Dia juga pernah punya pacar orang Indonesia. Seorang TKWdari Medan.
Ketika hari-hari TKW itu libur, dia akan menelepon supir India ini. Lalu
mereka akan berkeliling Kuala Lumpur dan mengakhirinya dengan makan bersama di
KFC. Tapi setelah 3 tahun dan kontraknya habis, TKW itu pulang dan tidak
kembali. Suami dan anak-anaknya menunggunya di Medan.
Lelaki india itu bercerita sambil merokok dengan pandangan jauh. Aku tidak berani menanyakan apakah dia masih mencintai TKW itu. Aku tahu itu akan sangat sulit dijawab. Saat kami akan berpisah, dia nampak terkejut ketika aku memberikan mug yang aku dapat sebagai meeting souvenir kepadanya. Soon, I realized, he was a tender Indian man with a sweet smile.
Lelaki india itu bercerita sambil merokok dengan pandangan jauh. Aku tidak berani menanyakan apakah dia masih mencintai TKW itu. Aku tahu itu akan sangat sulit dijawab. Saat kami akan berpisah, dia nampak terkejut ketika aku memberikan mug yang aku dapat sebagai meeting souvenir kepadanya. Soon, I realized, he was a tender Indian man with a sweet smile.
(to be continued...)