5 Jun 2014

Untuk Satu Dua Hari

Selama ini kau memimpikan seseorang. Seseorang yang kau tahu akan begitu pas. Setiap detail dirinya seakan diciptakan untukmu. Kau menunggunya sekian lama. Kau bertahan dengan keyakinan, orang seperti itu ada. Pasti ada.

Lalu kau bertemu dia. Di suatu pagi yang biasa. Begitu tiba-tiba, dibawa oleh aliran hidup yang dinamai kebetulan. Dia menghampirimu, menyapa dan mengajukan pertanyaan. Kalian berkenalan. Dan lagi-lagi, hidup seperti menempatkan kalian dalam pias yang sama.

Kau mencoba tenang. Menyembunyikan dugaan yang kau terjemahkan dari pandangannya. Menghiraukan senyum kecilnya. Kau tahu ia memperhatikan apa yang kau katakan. Memikirkan apa yang kau kerjakan. Tapi kau tenang, lebih banyak mendengarkan dan hanya mengaguminya diam-diam.

Kalian bersama tidak lama, tapi cukup untuk membuatmu tahu, kalian tidak bisa bersama.

Jauh di dalam hatimu ada penyesalan. Hidup ternyata belum cukup pintar untuk mempertemukanmu dengan orang yang paling tepat. Kali ini, kau cukup tahu diri untuk tidak melangkah. Tidak, jurang di antara kalian terlalu dalam. Ada yang hancur kalau kalau kau paksa. Tapi kau tahu kau tidak bisa tidak mengingatnya. Kau memilih untuk mengingatnya. Pertemuan pertama kalian. Senyumnya. Pelukannya ketika kalian berpisah.

Kau sudah memutuskan. Hanya sejenak, untuk satu dua hari, biarlah kau nikmati rasanya jatuh cinta lagi.



Jakarta,  Juni 2014

4 Jun 2014

Menanti Musim Semi

Dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam, akhir Februari lalu, aku membayangkan betapa indahnya Belanda di musim semi nanti. Aku membayangkan tulip warna-warni yang bermekaran, langit biru tanpa awan, semilir angin sejuk dan pepohonan yang daunnya rimbun dan hijau. Aku tahu, sampai disana aku tidak akan langsung mendapatkan pemandangan musim semi itu. Setidaknya sampai awal Maret nanti, pasti masih ada sisa-sisa musim dingin yang harus “kunikmati”.

Benar saja, setibanya di bandara Schiphol, aku disambut dengan hujan dan angin yang dinginnya menusuk. Kemudian dalam perjalanan dengan bis menuju Den Haag, aku mencoba mencari tanda-tanda musim semi, tetap saja tidak kutemukan. Baiklah, kuakui salju memang sudah tidak ada, tapi langit masih kelabu, pepohonan masih tak berdaun dan ladang-ladang masih kosong. Untuk mendapatkan musim semi aku memang masih harus menanti.

Menurut teori, musim semi dijadwalkan datang mengunjungi bumi dari bulan Maret sampai bulan Mei (tiba-tiba saja teringat gambar pergerakan matahari yang menjadi penanda periode musim-musim yang dulu kupelajari di sekolah dasar :p) Tapi, dengan melihat keadaan seperti ini, dalam benakku tiba-tiba terlintas, “sepertinya musim dingin tak akan pernah berakhir dan musim semi tak akan pernah datang” Hmm, konyol memang, musim dingin pasti berlalu, musim pasti akan berganti, aku hanya perlu sedikit bersabar. Musim semi itu sedang dalam perjalanan.

Musim semi itu sedang dalam perjalanan? Benarkah?

***

Minggu pertama di Den Haag, hujan turun tiap hari dan angin musim dingin masih berhembus. Sia-sia saja aku membawa payung karena angin akan merebutnya dari tanganku, jika aku berkeras dia akan meremukkan payungku. Cuaca buruk ini membuatku semakin tak sabar menanti musim semi. Tapi semakin aku tak sabar menanti, aku semakin curiga musim semi akan terlambat datang.

Hingga suatu pagi, waktu aku bangun dan melihat keluar, aku sudah tidak lagi melihat langit kelabu. Seakan ada yang mewarnai langit dengan cat biru muda di malam hari saat semua orang sedang tertidur. Matahari bersinar dan entah bagaimana dunia seakan lebih berwarna. Pagi itu, rombongan kami memutuskan untuk berangkat ke institut dengan jalan kaki, tidak naik bis seperti biasanya.

Matahari terus bersinar sepanjang hari itu, udara masih tetap dingin tapi cuaca cukup nyaman untuk berjalan-jalan di luar. Kebetulan institut tempat kami belajar dikelilingi hutan kecil dan beberapa taman.Baru hari itu aku punya kesempatan memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ternyata di pinggir sungai, bunga-bunga putih dan ungu sudah mulai bermunculan. Batang-batang pohon berwarna kehijauan, sepertinya lumut sudah mulai tumbuh karena udara sudah lebih lembab. Lalu pohon-pohon memang masih kelihatan gundul, tapi ternyata apa yang selama ini kukira hanya ranting-ranting kecil, ternyata adalah pucuk-pucuk tunas daun.

Aku yakin selama ini bunga-bunga ungu dan putih itu sudah ada di tepi sungai dan tunas-tunas daun itu sebenarnya juga sudah ada. Aku hanya tidak melihatnya karena aku terlalu fokus pada langit yang kelabu dan angin dingin. Dan bodoh sekali karena tunas-tunas daun itu justru kukira ranting-ranting saja.

Musim semi ternyata memang sedang dalam perjalanan. Selama ini aku hanya tidak melihatnya. Tapi melihatnya atau tidak, musim semi tetap akan datang. Seharusnya, sejak awal aku tidak meragukannya.


Jakarta, Maret 2011


#another old writings in my facebook notes. Oh how I miss early spring when the flowers starts to appear.

Madre, Jalanan Macet dan Busway Penuh

Hari ini jalanan macet, bus way penuh, dan aku berdiri  sepanjang perjalanan menuju ke kantor. Alhasil, saya tiba di kantor setengah jam lebih lambat dibanding  biasanya dengan kaki lumayan pegal. Tapi aku merasa pagi ini indah.

Padahal cuma karena Madre.

Madre adalah buku baru Dewi Lestari, yang biasa memakai nama pena Dee. Buku-bukunya yang lain, Filosofi Kopi, Recto Verso dan Perahu Kertas sudah kubaca berulang kali.

Jadi di pagi yang rumit ini (seperti pagi-pagi lain di Jakarta), melewatkan kemacetan sambil berdiri di busway dan membaca Madre, entah kenapa aku merasa sangat bahagia.


Bahagia karena tiba-tiba membaca Madre jadi membangkitkan banyak kenangan dari belasan tahun lalu, tentang pagi yang sama sibuknya. Aku seperti mendengar suara ibu yang marah-marah karena aku tidak segera bersiap ke sekolah. Alih-alih mandi, aku justru tiduran lagi di sofa ruang tamu sambil membaca majalah Bobo edisi lama. Aku baru beranjak kalau ibu sudah mengeluarkan ancamannya: cubitan di paha yang sakitnya luar biasa. She really knows how to handle me :p

Tiba-tiba aku juga ingat sopir angkot berwajah lucu. Aku sudah jadi langganan angkotnya sejak sekolah dasar. Terakhir kali aku pulang ke rumah, aku bertemu dia lagi. Setelah tidak bertemu sekian lama, dia nampak tua. Gurat wajah cerianya masih sama, pun candanya, tapi kini dia tidak lagi punya beberapa gigi depan.

Melihatku duduk dan membaca di angkotnya, dia tertawa. Katanya, “Kamu tidak pernah berubah. Buku di tanganmu saja yang berubah. Waktu SD kamu baca Bobo, SMP baca Kawanku, lalu SMA kamu baca Gadis, waktu kuliah kadang kulihat kamu bawa Kompas, sekarang sudah kerja entah buku apa itu di tanganmu,  kok bisa orang baca buku setebal itu. “

Aku tersenyum. Tapi ada rasa haru yang tiba-tiba mengaliri hatiku.

“Ternyata…,” ia melanjutkan ucapannya, “gadis kecil yang dulu suka membaca dan melamun di angkotku, sekarang sudah jadi orang hebat, bisa kerja di Jakarta. Dan aku masih saja tetap seorang sopir, hahaha…” Aneh ya, dia bukan siapa-siapa, bukan teman bukan saudara, tapi dia memperhatikan aku. And it really feels good to know that somebody care about you more than you ever think and know.

Tiba-tiba aku merasa hidup ku sungguh indah. Daripada mengkuatirkan masa depan yang sebenarnya penuh kemungkinan, tidak ada salahnya menggali kembali kenangan dan bersyukur karenanya. Kita bisa bahagia walaupun hanya dengan kenangan-kenangan sederhana.

Tapi bukankah untuk menjadi bahagia kita memang tidak butuh alasan besar?

Seperti kenangan tentang suatu pagi ketika baju-baju ternyata belum sempat kucuci. Yang tersisa di lemari hanya kemeja putih polos dan rok biru bermotif bunga-bunga pink dan putih kecil-kecil yang jarang kupakai. Tidak ada pilihan lain. Tapi di kantor seorang teman memberi pujian “c’est trés chic”. Dia tidak tahu kalau rok itu dibuat oleh penjahit langganan ibu waktu aku masih SMA. Ternyata ukuran tubuhku tidak banyak berubah. Bukankah itu juga alasan bagus untuk bahagia?

Belakangan aku memang banyak merenungi sebuah kehilangan. Mempertanyakan apakah yang sudah pergi masih mungkin kembali. Mencoba menjawab setiap kemungkinan dengan air mata dan desah nafas panjang. Kadang aku lupa untuk menjadi bahagia dengan apa yang sudah kupunya, salah satunya menjadi bahagia dengan kenangan.

Jadi hari  ini aku menggali beberapa kenangan. Kenangan tentang Ibu yang berjaga di sampingku saat aku sakit, sambil sekali-kali tangannya meraba dahiku. Kenangan saat naik motor berdua dengan Bapak di pedesaan. Kenangan tentang tujuh tangkai mawar yang pertama kali kuterima dari seorang pria di hari ulangtahunku ke-17. Kenangan tentang menginap ramai-ramai di rumah teman dan sepanjang malam bertengkar tentang lagu apa yang harus diputar di Winamp. Kenangan tentang nonton konser gratisan di Goethe Hause bersama sahabat. Ternyata ada banyak kenangan menyenangkan.

Aku berhak bahagia.

Seperti himne yang biasa dinyanyikan di gerejaku,

“Bila topan g’lap melanda hidupmu,
bila putus asa dan letih lesu,
berkat Tuhan satu-satu hitunglah,
kau niscaya kagum oleh kasih-Nya”

Bila syairnya kuganti sedikit, mungkin jadinya begini:

“Bila jalan macet dan busway penuh,
nikmati saja dengan sebuah buku,
Ingatlah indah masa lalu,
Ternyata hidup tidak semua kelabu”



Jakarta,   Juli 2011.




#sebuah catatan lama yang kutemukan di notes facebook, salah satu favoritku. Aku masih naik busway sampai hari ini, tapi dengan jarak yang lebih pendek dan tidak terlalu penuh. Masih sambil membaca buku pasti, dan beberapa kali melewatkan halte dimana aku seharusnya turun. There are things that never changed for sure.

9 May 2014

Goodbye



I hate the feeling of saying goodbye
when your path takes you on faraway journey

(Little India, Singapura, 9 Mei 2014)

24 Mar 2014

Setelah Gelombang Datang

di tanah ini
pemuda-pemuda bermata dalam
di sana terlukis kehilangan

tentang pagi yang tiba-tiba
menebar berita kematian
lalu koyak
berserakan

tapi kata mereka
gelombang adalah harapan yang menyamar
mereka belajar bersahabat
dengan kelam kenangan


*kenangan di Banda Aceh, Maret 2014.